(Tema : Medsos: Berkah atau Musibah bagi Toleransi dan Keberagaman?)
Perkembangan zaman telah membawa kita ke dalam peradaban teknologi yang semakin canggih. Beranekaragam produk teknologi terus diciptakan dengan tujuan untuk membantu setiap aktivitas manusia. Teknologi itu berkembang seakan tiada batas dan tiada usai, yang menggambarkan bahwa kreativitas manusia memang sungguh luar biasa. Namun, manusia memang tiada yang sempurna. Di garis perkembangan teknologi yang luar biasa hebatnya, terdapat banyak oknum yang memanfaatkan hasil teknologi ini ke arah yang tidak semestinya.
Sebut saja, media massa. Tujuan awal dari pembentukan media ini sebenarnya adalah untuk menyampaikan informasi kepada khalayak umum secara cepat dan tepat, sehingga harapannya setiap manusia tidak kesulitan dalam mengakses informasi dengan disokong terbentuknya internet. Hal ini juga sejalan dengan Leksikon Komunikasi yang menyatakan bahwa media massa adalah sarana penyampai pesan yang berhubungan langsung dengan masyarakat luas.
Sayangnya, tidak semua manusia memiliki pemikiran yang sama. Arogansi dan egoisme dari setiap manusia memberikan warna baru dalam pemanfaatan kehebatan teknologi ini. Di era modern ini, muncul berbagai macam media sosial yang mengadopsi sistem pada media massa. Bahkan, Media sosial menjadi bagian utama dalam media massa. Segala informasi yang disampaikan melalui media massa, seakan terhubung langsung dengan media sosial dan dapat diakses dengan mudah. Situasi informasi yang sulit untuk disaring ini, memicu sebagian masyarakat untuk memanfaatkannya dalam bentuk aksi propaganda.
Propaganda, Negatif atau Positif?
Di era teknologi ini, propaganda tidak lagi harus melakukan aksi arak-arakan di jalan, atau kegiatan yang mengumpulkan massa lainnya. Propaganda dapat dilaksanakan secara diam-diam atau tertutup dengan maksud tertentu. Propaganda memiliki dua arti, yaitu negatif maupun positif. Apabila ditilik dari arti katanya, maka propaganda berasal dari kata propagare dalam Bahasa Latin, yang merujuk pada arti pengembangan. Sedangkan dalam Kamus Oxford, propaganda mengandung arti suatu himpunan atau program untuk menyebarkan suatu doktrin/ajaran.
Propaganda sendiri memiliki tiga (3) macam tipologi, sebagaimana dilansir dari tulisan berjudul: Kontra Propaganda Radikalisme di Media Sosial, Oleh Arindra Khrisna/KOMPAS 20 januari 2016, diantaranya :
- Propaganda Putih, dilakukan secara terbuka atau identifikasi sumber-sumber dapat dilakukan secara terbuka, walaupun terkadang sponsor dari propaganda ini sering tidak diketahui.
- Propaganda Hitam, dilakukan secara tertutup dan menyesatkan. Sumber-sumber dari propaganda ini terlihat ramah, namun sebenarnya memiliki maksud yang bertentangan.
- Propaganda Abu-abu, dilakukan secara tertutup melalui sumber-sumber netral, namun memiliki maksud bertentangan. Misalnya, seseorang meminta seorang wartawan memberitakan suatu isu agar masyarakat umum percaya akan isu tersebut.
Berangkat dari jenis propaganda di atas, seharusnya kita sudah dapat memahami bahwa nilai propaganda sebenarnya tidak selalu negatif. Propaganda juga memiliki maksud positif. Misalnya menyampaikan informasi kepada khalayak umum tentang kebijakan politik yang akan ditetapkan. Semua aksi propaganda dapat dinilai negatif atau positif memang tergantung dari apa tujuan kita melakukan propaganda tersebut. Media sosial sebagai media komunikasi yang sangat dekat dengan masyarakat, seringkali diperalat untuk hal ini. Oknum-oknum menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi-informasi tertentu, misalnya mengenai radikalisme.
Radikalisme memang isu yang sudah sangat lama, bahkan di luar media sosial pun radikalisme itu tetap ada yang tumbuh. Memang tidak salah mewartakan ajaran-ajaran agama kepada khalayak umum, namun jika kegiatan pewartaan tersebut membahayakan keragaman yang ada, perlu dipertanyakan kegiatan propraganda ini. Setiap agama tentunya mengajarkan tentang kebaikan, dan saling toleransi dengan batas-batas yang telah ditentukan. Tuhan juga tentunya ingin setiap manusia hidup berdampingan dengan damai, sehingga perpecahan dan selisih antar-agama seharusnya tidak terjadi. Bilamana itu terjadi maka, tentunya ini adalah egoisme dan arogansi dari manusianya sendiri.
Propaganda Radikalisme melalui Media Sosial
Media sosial menjadi media yang sangat dekat dengan masyarakat pada masa kini. Bahkan, seakan tidak ada sekat dan jaring yang dapat mem-filter setiap informasi yang ada. Tumbuhnya berbagai kemungkinan radikalisme, memicu perpecahan dan instabilitas keragaman, terutama di Indonesia yang notabenenya adalah negara ber-Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman akan budaya, suku, ras dan golongan menjadi kekayan tersendiri bagi Indonesia, namun menjadi suatu titik kegoyahan juga bagi Bangsa Indonesia. Keragaman ini sungguh, sangat mudah untuk dipecah-belah dengan isu-isu miring yang beredar sangat mudah di media sosial. Bahkan, masyarakat minoritas terkadang menjadi sasaran empuk dalam isu radikalisme ini.
Propaganda yang sering dilakukan oleh kelompok radikal agama adalah propaganda putih. Mereka seperti membentuk suatu website untuk mem-¬posting berbagai tulisan yang mengarah pada pesan tertentu. Pesan yang biasanya muncul adalah mengenai ajakan untuk membenci agama lain, menyatakan diri sebagai agama yang paling benar atau suci, atau mendirikan negara berdasarkan agama tertentu. Propaganda ini akhirnya mengalir kepada masyarakat melalui media sosial yang dibagikan (sharing) dan mendoktrinasi masyarakat.
Propaganda hitam juga sering dilakukan oleh kaum-kaum tersebut. Seperti dengan membandingkan suatu ayat-ayat dalam kitab suci tertentu dengan kitab suci yang lainnya. Kemudian, juga memelintir sebagian ayat dalam kitab suci. Bahkan, adapula yang mempertanyakan mengenai batasan pluralitas di Indonesia saat ini. Apabila dipandang secara masyarakat, seharusnya mewartakan suatu ajaran tertentu, tidak dengan menghina atau merendahkan agama lain. Itu sama saja, kita berbuat dosa atau mengajarkan kesesatan.
Mencegah Perpecahan Keragaman Akibat Propaganda Radikalisme
Propaganda yang dilaksanakan melalui media sosial seakan tidak ada habisnya, bahkan tidak hanya instansi ataupun pemerintahan yang dapat melakukan propaganda tersebut. Masyarakat umum, orang-orang terpelajar atau oknum-oknum lainnya pun dapat dengan mudah melakukan propaganda radikal ini. Lalu, bagaimana kita seharusnya bertindak?
Hal yang paling umum dilakukan adalah dari sisi pemerintah dengan memblokir atau menutup situs-situs (laman) web yang berbau radikal. Kemudian, menginformasikan kepada khalayak umum tentang adanya suatu kelompok radikal tertentu, dan diharapkan untuk berhati-hati.
Di sisi lain, perlu adanya edukasi kepada masyarakat mengenai keberagaman, dan penguatan iman akan kepercayaan masing-masing sehingga tidak mudah diombang-ambingkan oleh ajaran yang menyesatkan. Hal-hal pencegahan radikal ini seharusnya tidak hanya dilakukan pada waktu tertentu saja, namun seharusnya secara berkesinambungan dan terus menerus. Mengingat bahwa kelompok radikal ini akan terus ada karena setiap manusia berpegang pada arogansi dan egoismenya.
Kelompok radikal ini sejatinya juga bukan memperjuangkan agamanya, namun memperjuangkan pemahaman mereka akan agama mereka sendiri. Padahal, pemahaman manusia berarti timbul karena arogansi dan egois dari manusia nya itu sendiri. Seperti halnya kita ditanya, Apa itu pensil?, maka untuk setiap manusia pasti akan menjawab berbeda-beda sesuai dengan sejauh mana pemahaman mereka akan pensil itu.
Sejatinya, setiap perbedaan seperti warna-warna pada pelangi. Perbedaan di antara mereka bukan untuk dipecah, namun untuk dipersatukan dan hidup berdampingan membentuk pelangi yang indah dan kenangan yang indah di hadapan keajaiban pelangi itu sendiri.
“Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa“
#celebratediversity #10tahunicrs
Note : Artikel ini mendapatkan penghargaan sebagai salah satu dari 5 artikel favorit dalam Kompetisi Blog Indonesian Consortium for Religious Studies.