Lihat! Tumbuhan itu mulai meranggas karena dehidrasi air. Aku baru saja teringat, bahwa pagi ini aku lupa menyiramnya. Dan sekarang terik matahari sudah sangat membakar, jika kusiram sekarang, apakah tumbuhan itu tidak akan semakin layu? Atau lebih baik aku tunggu hingga matahari cukup tenang setelah amarahnya teredam? “Apapun yang terbaik menurutmu, lakukanlah, karena padi tentu percaya pada petaninya, dan begitu sebaliknya”, kata seorang temanku.

Hari itu sudah tengah malam. Tiba-tiba ada pesan masuk di android-ku. Pesan itu hanya beralamatkan sebuah nomor ponsel. Karena aku penasaran, aku coba lihat foto profilnya di Whatsapp. Kala itu, sinyal android-ku cukup menyebalkan. Bahkan untuk membuka aplikasi itu saja, aku butuh waktu hingga berjam-jam.

Huft, menyebalkan.

Singkat cerita, akhirnya aku dapat melihat foto profilnya dan aku tahu siapa dia, yang telah mengirimkan sebuah pesan singkat, “Kak, boleh nanya-nanya gak?” Seorang adik kelas yang sangat berprestasi, dan membanggakan di sekolah. Tahun ini, dia memang menginjak akhir masa SMA-nya dan aku sudah bisa menebak apa yang akan menjadi pembahasan malam itu.

Ya, tentu soal perkuliahan.

Awalnya, semua pertanyaan yang diutarakan cukup ringan dan memang umum untuk ditanyakan. Bahkan, semenjak saat itu, hampir setiap malam, dia pasti kembali menghubungiku untuk mengungkapkan semua pertanyaannya. Hingga suatu saat, hatiku tergelitik oleh sebuah pertanyaan yang dia ajukan.

“Kak, mending (milih) sekolah di (suatu institusi perkuliahan) swasta dapet beasiswa atau di (suatu institusi perkuliahan) negeri tanpa beasiswa, tapi aku udah diterima (di kedua tempat itu)?”

Disini aku bukan ingin memamerkan prestasi yang telah dia dapat dengan diterima di dua universitas. Dan aku juga bukan ingin membuat kalian berpikir bahwa “orang cerdas disuruh milih aja bingung”. Terlebih berpikir bahwa “wah enak ya, udah ada yang mau nerima, dua univ lagi, tinggal milih aja tuh, ga usah pusing-pusing nyari lagi, ga perlu berjuang tes sana-sini lagi.” Tidak sama sekali. Aku tak paham betul mengapa dia menanyakan pertanyaan itu padaku, hanya sebuah kebetulan atau mungkin dia tahu tentang riwayat pendidikanku.

Aku memang pernah bersekolah di swasta, bahkan bisa dibilang ini swasta peringkat bawah di kotaku. Namun, aku tak malu karena pernah menjadi bagian disana. Justru banyak pelajaran yang aku terima disana. Aku mengutarakan semua hal yang aku rasakan, dan sampai saat ini masih berdampak buatku. Di sekolah swasta itulah, awal ambisiku muncul. Kalian mau tahu, apa yang memancing ambisiku ini? Ya, suatu waktu aku pernah berkompetisi dengan anak dari sekolah negeri, dan aku kalah dari mereka. Jauh kalah dari mereka. Dan mereka seperti membuat tatapan sinis padaku. Namun, aku yang polos tak menghiraukannya, karena aku tak mau berburuk sangka. Tahun kedua, di kompetisi yang sama, aku kembali dipercaya buat mewakili sekolahku. Akhirnya, tekadku muncul, aku harus bisa mengalahkan mereka (yang tentunya semua lawanku di kompetisi itu) dengan membuktikan bahwa intelegensi swasta tidak kalah saing. Hari demi hari, aku lewati dengan terus membaca materi. Hingga waktu perlombaanpun tiba. Singkat cerita, ya betul sekali. Aku berhasil menyabet juara pertama. Dan kali ini mereka (yang menjadi motivasiku) berada di peringkat 3. Dalam hati, aku sangat gembira karena berhasil sedikit mengangkat nama baik sekolahku, walau hanya swasta peringkat bawah. Dan tentunya, aku tak ingin membalas sesuatu yang kukatakan tatapan sinis itu. Aku menyalami mereka, dan mengucapkan selamat terhadap apa yang telah diperoleh.

Dan ternyata, ambisiku tak berhenti disitu.

Suatu waktu, aku menginjak akhir dari masa pendidikan di sekolah swasta itu. Aku tahu bahwa mungkin sangat sulit untuk menjadi yang pertama di kotaku. Namun, dicoba juga tidak ada salahnya. Aku mulai menargetkan diri. Aku harus bisa membuat prestasi akhir untuk sekolah swastaku ini. Singkat cerita, dalam Ujian Akhir Sekolah Bertaraf Nasional atau UASBN yang terdiri dari 4 mata pelajaran, aku berhasil memperoleh nilai sempurna dalam dua materi sains. Dan nilai yang cukup tinggi dalam dua materi bahasa. Ya, inilah yang bisa aku lakukan buat sekolah swastaku. Pada saat itu, aku sangat yakin bahwa pendidikan bukan soal institusinya saja, namun juga soal manusianya, soal diriku sendiri. Ketika aku punya mimpi, aku bisa mewujudkan itu dimana saja, walau kadang juga tidak sempurna, dan butuh sebuah pengorbanan lebih dari yang lain, harus tetap disyukuri.

Ya, setelah kelulusan, aku memilih untuk bersekolah di negeri. Sebenarnya, untuk membuat perbandingan. Apa sih yang membedakan mereka? Dan menguatkan keyakinanku, bahwa negeri atau swasta sebenarnya bukan masalah. Dan disinilah, aku kembali merasakan betapa berharganya usaha keras itu. Dalam sebuah kompetisi sejenis, namun tingkat jenjang berbeda, tiba-tiba saja aku dipanggil untuk mengikutinya. Dan berlatih di sebuah rumah mewah setiap sore hingga malam. Awalnya, aku tidak tahu siapa beliau. Namun, perlahan beliau bercerita bahwa dulu, saat kompetisiku, beliau takjub, karena jawaban di babak penyisihanku benar semua, dan pada sesi final juga sangat memuaskan. “Oh, begitu, puji syukur”, kataku dalam hati. Oke, ini pelajaran. Ternyata, usaha apapun yang kita lakukan, pasti akan memberikan hikmah yang positif, selama apa yang kita lakukan benar. Dan jangan suka membuat perhitungan, artinya ikhlas dan tulus atas usaha itu.

Setelah kuceritakan semua apa yang pernah kualami, dia akhirnya memutuskan untuk mengambil kuliah beasiswanya. Namun, pertimbangannya bukan hanya ceritaku. Dia punya tekad kuat tak ingin menyusahkan kedua orangtuanya.

“Iya sih ya kak, kalau sekolah di negeri nanti daripada beban ke orangtua, mending coba beasiswa aja, prestasi bisa diciptakan dimanapun kan, hehe”, katanya.

Selain itu, “kuliah di negeri belum tentu memastikan kita mendapat pekerjaan, semua masih tergantung pada diri sendiri, dan jangan lupa minta petunjuk sama Tuhan, dan minta restu juga sama orangtua, ceritakan semuanya, karena barangkali ada pembenahan dalam setiap pemikiran kita. Bukan berarti kita harus selalu memilih swasta, atau negeri itu tidak bagus dan sebaliknya, namun ada kalanya pertimbangan lain menjadikan semuanya tidak sesuai dengan umumnya. Sukses yaa !!” kataku.

Melalui kisah ini, aku sampaikan, bahwa bukan soal kamu berasal dari mana, sehingga prestasi itu memihak, tapi mulai dari mana tonggak prestasi itu kamu tancapkan, sehingga prestasi itu memihak. Hasil tak akan pernah mengkhianati setiap usaha yang akan kita peroleh, itu singkatnya.

Hmmm…

Ada beberapa persepsi di masyarakat pada umumnya, yang membuat orang kadang bingung memilih swasta atau negeri. Bahkan, ada yang lebih ekstrem, bahwa harus dapat negeri, ketika belum, coba lagi tahun depan. Swasta itu bayarannya mahal, ambil negeri aja banyak beasiswa. Dan masih banyak lagi. Ya, tidak ada yang salah, dan tidak ada yang perlu disalahkan. Karena bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur, semuanya sudah tersebar di masyarakat. Yang perlu kita pahami adalah persepsi boleh jadi persepsi dan mewarnai argumenmu, namun jangan sampai mereka mematikan mimpimu.

Tidak sedikit, orang akhirnya menyerah ketika tidak mendapatkan (institusi) negeri setelah sekian kali mencoba, namun banyak juga yang berhasil memperolehnya. Ketika kamu berada pada domain yang “tidak sedikit”, maka mungkin itu harus diterima dengan lapang dada. Kemudian, jangan terkubur dalam keputus-asaan, tapi bangkitlah. Karena tidak ada pelaut ulung, yang lahir dari lautan tenang. Jadi, pada domain apapun, kita akan mengalami ujian yang sama, namun pastinya bukan dari kacamata manusia.

Satu yang tak kalah penting adalah seringkali aku menemukan teman-temanku yang berganti-ganti jurusan. Alasannya pasti mirip-mirip, “aku ga betah”, “kayaknya ga cocok sama aku ini jurusan”, “aku ga berbakat di jurusan ini”, “aku ga tahu mau jadi apa besok kalo disini”, “aku ga yakin bisa jadi orang kalo di jurusan ini”, “kayaknya jurusan –piip lebih enak deh”, “aku ga kuat disini”, dan masih banyak lagi. Merasa tidak sesuai dengan jurusannya sendiri, sepertinya sudah perkara yang umum. Bahkan, hampir sebagian besar orang pasti mengalaminya.

Dan pilihannya: bertahan atau pindah.

Banyak orang memilih untuk pindah. Tidak salah, aku hanya ingin memberikan sedikit pemikiranku yang bisa menambahi pertimbangan dalam mengambil keputusan itu. Pertama, kita tak akan pernah tahu apakah kita akan cocok dengan jurusan itu, sebelum kita terjun langsung. Iya, menurutku benar. Karena beradaptasi dengan jurusan bukanlah soal impian kita saja, namun bagaimana kita bisa menyesuaikan diri dengan materi, lingkungan dan orang-orang  di jurusan tersebut. Tak sedikit orang merasa tidak bisa bersama dengan orang-orang sejurusannya. Namun, perlu diingat, adaptasi adalah poin penting untuk kita bisa bertahan hingga akhir cerita hidup kita ditutup oleh tanda titik. Kedua, bertahan lebih sulit daripada memulai. Mungkin terdengar aneh, namun boleh jadi jurusanmu itu memang menuntut kamu untuk bertahan, karena dengan belajar bertahanlah, kunci suksesmu di masa depan. Banyak orang gagal, karena tidak mampu bertahan. Ketiga, waktumu terus berjalan. Inspirasi ini aku peroleh dari film boychoir. Dalam film tersebut dinyatakan bahwa kadang kita merasa tahu tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi, namun pada kenyataan, sebenarnya kita tidak tahu, karena kita hanya telah dicuci oleh kata-kata dan prasangka tanpa memberi kesempatan pada diri kita untuk mencoba mengubah diri. Hanya karena “kata dia”, “dari cerita itu”, “lihatlah apa yang telah terjadi padanya” dan sebagainya, kita membuang waktu kita dan mengabaikan apa yang seharusnya menjadi lebih penting. Ketika kalian berpikir akan berpindah, kalian menggunakan waktu kalian yang sebenarnya bisa untuk mencari motivasi untuk bertahan.

Demikian cerita motivasi ini aku tuliskan. Semua cerita di atas boleh jadi hanya sebuah fiktif, dan berlalu begitu saja. Namun, ingat karena masa depanmu tak ingin dilalui dengan begitu-begitu saja. Kapan lagi kalau bukan dari sekarang.

Sukses !! Terus Berjuang !!

The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams

– Eleanor Roosevelt –