Abad ke-21 merupakan abad yang penuh dengan perubahan-perubahan besar. Semua hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, tiba-tiba menggerus sebagian besar cipta karya terdahulu. Dengan kata lain, pada masa ini timbul pelbagai gelombang perusak yang menonaktifkan “kreativitas konvensional”. Kreativitas konvensional ini mengacu pada  segala hasil konstruksi sosial dan budaya masyarakat yang telah menjadi asupan rutinitas mereka yang dalam konteks ini disebut sebagai incumbent. Fenomena perusakan ini, belum lama juga dibahas dalam buku ke-32 karya Rhenald Kasali. Dalam bukunya tersebut, beliau menyebut fenomena ini sebagai disruption. Dengan terbitnya buah pemikiran Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia ini, membuka mata masyarakat akan perlunya memahami perubahan besar yang tengah terjadi baik dalam skala indonesia maupun global.

Disruption yang dijelaskan oleh Rhenald Kasali tidak hanya melulu berbicara mengenai  teknologi informasi dan komunikasi (ICT), apalagi terbatas pada persoalan bisnis aplikasi yang digerakan untuk mempertemukan supply dan demand. Lebih dari itu, disruption bukanlah sekedar mengenai fenomena hari ini, melainkan fenomena hari esok yang dibawa oleh para pembaharu menuju saat ini. Pemahaman lebih akan disruption ini sangatlah penting, karena faktanya saat ini kita tengah berada dalam sebuah peradaban baru yang dikenal dengan istilah peradaban uber. Istilah ini dipilih untuk menggambarkan perubahan dinamis yang dapat ditinjau dari perubahan ruang, waktu, pola ekonomi dan lawan yang tidak kelihatan. Perubahan ini diawali dari hal-hal yang amat kecil, dan karena sedemikian kecilnya sehingga terabaikan oleh mereka yang besar. Bahkan, perubahan tersebut tak kasat mata, terjadi secara langsung tanpa tanda-tanda yang dapat dibaca terlebih dahulu.

Dalam memahami fenomena disruption ini, beliau juga memberikan sebuah ilustrasi sedeharna mengenai seekor katak. Ketika katak dilemparkan ke dalam air panas, maka seketika itu juga katak tersebut akan melompat keluar sebagai suatu bentuk upaya penyelamatan diri. Namun, berbeda ketika katak dimasukkan ke dalam air yang perlahan-lahan dipanaskan hingga mendidih, katak tersebut tidak akan merasakan adanya bahaya yang mengancam hingga akhirnya mati di dalam air panas itu. Fakta yang sangat jelas menggambarkan ilustrasi tersebut adalah pada tahun 2007, Christensen, yang memperkenalkan teori disruptive inovation memprediksi iPhone akan gagal melawan Nokia dan Blackbery karena baterainya lemah dan security-nya tak bisa mengimbangi Blackberry. Namun, pada hari ini Nokia dan Blackberry sudah terkalahkan. Hal ini sebagaimana juga dinyatakan oleh Chief Executive Officer (CEO) Nokia dalam sepenggal akhir pidatonya pada acara konferensi pers akuisisi Nokia dengan Microsoft, “we didn’t do anything wrong, but somehow, we lost.”

Dengan memperhatikan berbagai kondisi perubahan tak kasat mata tersebut, muncullah suatu pertanyaan, bagaimana pendidikan indonesia menghadapi hal tersebut? Kita mengetahui bahwa pendidikan adalah pondasi utama bagi generasi bangsa. Melalui pendidikan, kita membangun masa depan kita dan berharap memperoleh hari yang cemerlang kelak. Namun, masih relevankah model pendidikan tersebut dalam menghadapi fenomena disruption ini? Perlu digarisbawahi, Rhenald Kasali juga mengatakan bahwa semakin “berpengalaman” dan “merasa pintar” seseorang, maka dia akan semakin sulit untuk “membaca” fenomena ini. Bahkan, ia akan sangat mungkin mengalami success trap. Hal ini disebabkan pola pikir yang demikian sangat kental dengan logika masa lalu. Tak terbayangkan apabila produk hasil pendidikan Indonesia tergerus mentah-mentah oleh fenomena ini.

Disruption bukan tidak mungkin menimpa dunia pendidikan. Berbicara dalam konteks para pelaku dunia pendidikan, dalam hal ini pengajar/pendidik/guru ditengarai akan tergerus oleh gelombang disruption apabila mereka tidak siap dan sigap menghadapi tuntutan zaman. Bahkan, mereka harus mau melengkapi diri dengan coreskills abad 21 diantaranya critical thinking and problem solving, collaboration and communication, creativity and imagination, citizenship, digital literacy, student leadership and personal development. Sudah saatnya, pendidikan Indonesia menjadi dinamis dan fleksibel dalam memaknai perubahan zaman. Tidak terus-menerus rigid dengan segala rutinitasnya yang lampau karena pendidikan adalah salah satu pembentuk cara berpikir seseorang.

Dengan mengingat ilustrasi Jendela Johari dan metafora Charles Handy bahwa mindset dibentuk sebagaimana ruangan di rumah. Ada ruang tamu milik kita bersama yang artinya saya dan orang lain melihat hal yang sama. Namun, ada juga ruang privat yang hanya dipahami dan diketahui oleh saya, serta ruang misterius yang tidak diketahui baik oleh saya maupun orang lain. Dan celakanya, fenomena disruption ini membidik ruang keempat, yaitu suatu ruangan yang hanya diketahui oleh orang lain dan kita tidak mengetahui, bahkan tidak menyadarinya. Inilah disruption era, dimana cara berpikirlah yang nantinya akan menentukan bagaimana perjalanan hidup seseorang.

 

Tulisan ini telah dipublikasikan oleh Pers Mahasiswa Teknik Kimia, ENTROPI.